banner
banner

Partners

banner
 
 

Artikel Bebas

Bab III - Terapi Print E-mail

BAB III - TERAPI

 

3.1.     Jenis Terapi

Hati yang normal halus dan kenyal bila disentuh. Ketika hati terinfeksi suatu penyakit, hati menjadi bengkak. Sel hati mulai mengeluarkan enzim alanin aminotransferase ke dalam darah. Dengan keadaan ini dokter dapat memberitahukan pasien apakah hati sudah rusak atau belum. Bila konsentrasi enzim tersebut lebih tinggi daripada normal, menandakan hati mulai rusak. Sewaktu penyakit hati berkembang, perubahan dan kerusakan hati meningkat. Pengendalian atau penanggulangan penyakit hati yang terbaik adalah dengan terapi pencegahan agar tidak terjadi penularan maupun infeksi. Terapi penyakit hati dapat berupa :

 

  • Terapi tanpa obat
  • Terapi dengan obat
  • Terapi dengan vaksinasi
  • Terapi transplantasi hati

a.   Terapi tanpa obat

Terapi tanpa obat bagi penderita penyakit hati adalah dengan diet seimbang, jumlah kalori yang dibutuhkan sesuai dengan tinggi badan, berat badan, dan aktivitas. Pada keadaan tertentu, diperlukan diet rendah protein, banyak makan sayur dan buah serta melakukan aktivitas sesuai kemampuan untuk mencegah sembelit, menjalankan pola hidup yang teratur dan berkonsultasi dengan petugas kesehatan. Tujuan terapi diet pada pasien penderita penyakit hati adalah menghindari kerusakan hati yang permanen; meningkatkan kemampuan regenerasi jaringan hati dengan keluarnya protein yang memadai; memperhatikan simpanan nutrisi dalam tubuh; mengurangi gejala ketidaknyamanan yang diakibatkan penyakit ini; dan pada penderita sirosis hati, mencegah komplikasi asites, varises esofagus dan ensefalopati hepatik yang berlanjut ke komplikasi hepatik hebat. Diet yang seimbang sangatlah penting. Kalori berlebih dalam bentuk karbohidrat dapat menambah disfungsi hati dan menyebabkan terjadinya penimbunan lemak pada hati.

 

Jumlah kalori dari lemak seharusnya tidak lebih dari 30% jumlah kalori secara keseluruhan karena dapat membahayakan sistem kardiovaskular. Selain diet yang seimbang, terapi tanpa obat ini harus disertai dengan terapi non farmakologi lainnya seperti segera beristirahat bila merasa lelah dan menghindari minuman beralkohol.

b.  Terapi dengan obat

Terapi tanpa obat tidak menjamin kesembuhan, untuk itu dilakukan cara lain dengan menggunakan obat-obatan. Golongan obat yang digunakan antara lain adalah aminoglikosida, antiamuba, antimalaria, antivirus, diuretik, kolagogum, koletitolitik dan hepatik protektor dan multivitamin dengan mineral.

Aminoglikosida

Antibiotik digunakan pada kasus abses hati yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Preparat ini diberikan tiga kali sehari secara teratur selama tidak lebih dari tujuh hari, atau sesuai anjuran dokter. Gagal pengobatan maka efeknya berkembang ke arah resistensi bakteri terhadap preparat tersebut. Antibiotik kombinasi biasanya digunakan untuk mencegah ketidakaktifan obat yang disebabkan enzim yang dihasilkan bakteri. Obat tersebut biasanya mempunyai derajat keaktifan antibakterial, tapi umumnya digunakan untuk melawan degradasi dari enzim tersebut.

Antiamuba

Antiamuba seperti dehydroemetine, diiodohydroxyquinoline, diloxanide furoate, emetine, etofamide, metronidazole, secnidazole, teclozan, tibroquinol, tinidazole adalah preparat yang digunakan untuk amubiasis. Dengan terapi ini maka risiko terjadinya abses hati karena amuba dapat diminimalkan.

Antimalaria

Antimalaria, misalnya klorokuin, dapat juga digunakan untuk mengobati amubiasis. Obat ini mencegah perkembangan abses hati yang disebabkan oleh amuba.

Antivirus

Lamivudine adalah obat antivirus yang efektif untuk penderita hepatitis B. Virus    hepatitis    B    membawa   informasi    genetik    DNA.   Obat   ini mempengaruhi proses replikasi DNA dan membatasi kemampuan virus hepatitis B berproliferasi. Lamivudine merupakan analog nukleosida deoxycytidine dan bekerja dengan menghambat pembentukan DNA virus hepatitis B. Pengobatan dengan lamivudine akan menghasilkan HBV DNA yang menjadi negatif pada hampir semua pasien yang diobati dalam waktu 1 bulan. Lamivudine akan meningkatkan angka serokonversi HBeAg, mempertahankan fungsi hati yang optimal, dan menekan terjadinya proses nekrosis-inflamasi. Lamivudine juga mengurangi kemungkinan terjadinya fibrosis dan sirosis serta dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kanker hati. Profil keamanan lamivudine sangat memuaskan, dimana profil keamanannya sebanding dengan plasebo. Lamivudine diberikan per oral sekali sehari, sehingga memudahkan pasien dalam penggunaannya dan meningkatkan keteraturan pengobatan. Oleh karenanya penggunaan lamivudine adalah rasional untuk terapi pada pasien dengan hepatitis B kronis aktif.

Dalam pengobatan Anti Retroviral (ARV) pada koinfeksi hepatitis C, saat ini tersedia ARV gratis di Indonesia. ARV yang tersedia gratis adalah Duviral (Zidovudine + Lamivudine) dan Neviral (Nevirapine). Sedangkan Efavirenz (Stocrin) tersedia gratis dalam jumlah yang amat terbatas. Didanosine atau Stavudine tidak boleh diminum untuk penderita yang sedang mendapat pengobatan Interferon dan Ribavirin, karena beratnya efek samping terhadap gangguan faal hati.

Zidovudine, termasuk Duviral dan Retrovir harus ketat dipantau bila digunakan bersama Ribavirin (untuk pengobatan hepatitis C), karena masing-masing memudahkan timbulnya anemia. Anemia bisa diantisipasi dengan pemberian eritropoetin atau transfusi darah. Neviral dapat mengganggu faal hati. Jadi, kadar hemoglobin dan leukosit serta tes faal hati (SGOT, SGPT, bilirubin, dan lain-lain) harus dipantau ketat.

Menurut tim ahli Amerika (DHHS April 2005), Nevirapine walaupun dapat menimbulkan gangguan faal hati, boleh digunakan pada penderita dengan  koinfeksi  hepatitis  C,  dengan  pemantauan  yang  seksama.

 

Konsensus Paris 2005 menganjurkan pemberian Pegylated Interferon-Ribavirin selama 48 minggu.

Koinfeksi dengan hepatitis C memerlukan penatalaksanaan yang lebih khusus dan komprehensif. Jenis kombinasi ARV juga perlu dipantau lebih ketat terhadap gangguan faal hati, anemia dan leukopenia. Peginterferon dan Ribavirin dalam kombinasi dengan Interferon selain bermanfaat mengatasi hepatitis C juga untuk hepatitis D. Ada juga obat-obatan yang merupakan kombinasi imunologi dan antivirus yang tampaknya dapat menekan kadar virus hepatitis C dalam darah secara lebih efektif dari pada terapi ulang dengan interferon saja.

Thymosin alpha 1 adalah suatu imunomodulator yang dapat digunakan pada terapi hepatitis B kronik sebagai monoterapi atau terapi kombinasi dengan interferon.

Diuretik

Diuretik tertentu, seperti Spironolactone, dapat membantu mengatasi edema yang menyertai sirosis hati, dengan atau tanpa asites. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan gangguan keseimbangan elektrolit atau gangguan ginjal berat karena menyebabkan ekskresi elektrolit.

Obat diuretik lain yang digunakan dalam pengobatan penyakit hati selain Spironolactone adalah Furosemide yang efektif untuk pasien yang gagal memberikan tanggapan terhadap Spironolactone. Obat lain seperti Thiazide atau Metolazone dapat bermanfaat pada keadaan tertentu.

Kolagogum, kolelitolitik dan hepatic protector.

Golongan ini digunakan untuk melindungi hati dari kerusakan yang lebih berat akibat hepatitis dan kondisi lain. Kolagogum misalnya calcium pantothenate, L-ornithine-L-aspartate, lactulose, metadoxine, phosphatidyl choline, silymarin dan ursodeoxycholic acid dapat digunakan pada kelainan yang disebabkan karena kongesti atau insufisiensi empedu, misalnya konstipasi biliari yang keras, ikterus dan hepatitis ringan, dengan menstimulasi aliran empedu dari hati. Namun demikian, jangan gunakan obat ini pada kasus hepatitis viral akut atau kelainan hati yang sangat toksik.

Multivitamin dengan mineral

Golongan ini digunakan sebagai terapi penunjang pada pasien hepatitis dan penyakit hati lainnya. Biasanya penyakit hati menimbulkan gejala-gejala seperti lemah, malaise, dan lain-lain, sehingga pasien memerlukan suplemen vitamin dan mineral. Hati memainkan peranan penting dalam beberapa langkah metabolisme vitamin. Vitamin terdiri dari vitamin-vitamin yang larut dalam lemak (fat-soluble) seperti vitamin A, D, E dan K atau yang larut dalam air (water-soluble) seperti vitamin C dan B-kompleks.

Kekurangan vitamin-vitamin yang larut dalam air dapat terjadi pada pasien dengan penyakit hati tahap lanjut, tetapi hal ini biasanya terjadi karena masukan makanan dan gizi yang kurang atau tidak layak. Penyimpanan vitamin B12 biasanya jauh melebihi kebutuhan tubuh; defisiensi jarang terjadi karena penyakit hati atau gagal hati. Tetapi, ketika masukan gizi makanan menurun, biasanya tubuh juga kekurangan tiamin dan folat. Biasanya suplemen oral cukup untuk mengembalikan tiamin dan folat ke level normal.

Vitamin-vitamin yang larut dalam lemak tidak hanya membutuhkan asupan gizi makanan yang cukup tetapi juga pencernaan yang baik serta penyerapan yang baik oleh tubuh. Oleh sebab itu, produksi bilirubin dalam jumlah normal sangat penting. Bilirubin di dalam saluran cerna atau usus dibutuhkan untuk penyerapan vitamin-vitamin larut lemak ke dalam tubuh. Bilirubin bekerja sebagai deterjen, memecah-mecah dan melarutkan vitamin-vitamin ini agar mereka dapat diserap tubuh dengan baik. Jika produksi bilirubin buruk, suplemen oral vitamin-vitamin A, D, E, K mungkin tidak akan cukup untuk mengembalikan level vitamin ke level normal. Penggunaan larutan serupa deterjen dari vitamin E cair meningkatkan penyerapan vitamin E pada pasien dengan penyakit hati

 

tahap lanjut. Larutan yang sama juga dapat memperbaiki penyerapan vitamin A, D, dan K jika vitamin K diminum secara bersamaan dengan vitamin E.

Asupan vitamin A dalam jumlah cukup dapat membantu mencegah penumpukan jaringan sel yang mengeras, yang merupakan karakteristik penyakit hati. Tetapi penggunaan vitamin yang larut lemak ini untuk jangka panjang dan dengan dosis berlebihan dapat menyebabkan pembengkakan hati dan penyakit hati.

Vitamin E dapat mencegah kerusakan pada hati dan sirosis, menurut percobaan dengan memberi suplemen vitamin E pada tikus dalam jumlah yang meningkatkan konsentrasi vitamin E hati. Tikus-tikus itu kemudian diberi karbon tetraklorida untuk mengetes apakah perawatan dengan vitamin E yang dilakukan sebelumnya dapat melindungi mereka baik dari kerusakan hati akut atau kronis dan sirosis. Suplemen vitamin E meningkatkan kandungan vitamin dalam tiga bagian hati dan mengurangi kerusakan oksidatif pada sel-sel hati, tetapi tidak memiliki dampak perlindungan apapun pada infiltrasi lemak hati. Sirosis juga tampak dapat dicegah dalam kelompok tikus yang diberi suplemen vitamin E. Tampaknya vitamin E memberi cukup perlindungan terhadap nekrosis akibat karbon tetraklorida dan sirosis, mungkin dengan mengurangi penyebaran proses oksidasi lipid dan mengurangi jangkauan kerusakan oksidatif hati.

c.   Terapi dengan Vaksinasi

Interferon mempunyai sistem imun alamiah tubuh dan bertugas untuk melawan virus. Obat ini bermanfaat dalam menangani hepatitis B, C dan D. Imunoglobulin hepatitis B dapat membantu mencegah berulangnya hepatitis B setelah transplantasi hati.

Interferon adalah glikoprotein yang diproduksi oleh sel-sel tertentu dan T-limfosit selama infeksi virus. Ada 3 tipe interferon manusia, yaitu interferon a, interferon p dan interferon y; yang sejak tahun 1985 telah diperoleh murni dengan jalan teknik rekombinan DNA. Pada proses ini, sepotong DNA dari leukosit yang mengandung gen interferon, dimasukkan ke dalam plasmid kuman E.coli. Dengan demikian, kuman ini mampu memperbanyak DNA tersebut dan mensintesa interferon.

Ada juga vaksin HBV orisinil pada tahun 1982 yang berasal dari pembawa HBV, kini telah digantikan dengan vaksin mutakhir hasil rekayasa genetika dari ragi rekombinan. Vaksin mengandung partikel-partikel HBsAg yang tidak menular. Tiga injeksi serial akan menghasilkan antibodi terhadap HBsAg pada 95% kasus yang divaksinasi, namun tidak memiliki efek terhadap individu pembawa.

d.   Terapi Transplantasi Hati

Transplantasi hati dewasa ini merupakan terapi yang diterima untuk kegagalan hati fulminan yang tak dapat pulih dan untuk komplikasi-komplikasi penyakit hati kronis tahap akhir. Penentuan saat transplantasi hati sangat kompleks. Para pasien dengan kegagalan hati fulminan dipertimbangkan untuk transplantasi bila terdapat tanda-tanda ensefalopati lanjut, koagulapati mencolok (waktu prothrombin 20 menit) atau hipoglikemia. Pada pasien dengan penyakit hati kronis dipertimbangkan untuk transplantasi bila terdapat komplikasi-komplikasi yang meliputi asites refrakter, peritonitis bakterial spontan, ensefalopati, perdarahan varises atau gangguan parah pada fungsi sintesis dengan koagulopati atau hipoalbuminemia.

Lebih dari 2000 transplantasi hati telah dilakukan sejak tahun 1963. Ada dua tipe utama transplantasi:

  • Homotransplantasi auksilaris dimana sebuah hati ditransplantasikan di tempat lain dari hati yang sudah ada dibiarkan tetap ditempatnya.
  • Transplantasi ortotopik dimana sebuah hati baru diletakkan pada tempat hati yang lama. Yang terakhir ini lebih populer. Transplantasi hati yang berhasil merupakan usaha gabungan medis dan bedah.

Masa bertahan hidup 1 tahun adalah 60-70% bagi orang dewasa dan 80% pada anak-anak. Transplantasi untuk keganasan memiliki kemungkinan keberhasilan yang lebih buruk daripada untuk penyakit jinak, karena kekambuhan penyakitnya. Transplantasi untuk gagal hati akut pada mereka yang diperkirakan tidak memiliki kemungkinan untuk dapat bertahan hidup misalnya pada gagal hati fulminan akibat hepatitis non A, non B, hepatitis halotan atau keracuran Paracetamol yang disertai dengan koagulopati berat atau bilirubin >100 μmol/L, jika dilakukan sebelum terjadinya edema serebral, memiliki prognosis yang baik.

 

3.2.    Obat untuk Penyakit Hati

a.  Obat untuk hepatitis

b.  Obat untuk komplikasi sirosis hati

c.  Obat untuk mengatasi perlemakan hati

d.  Obat untuk abses hati

 

a.   Obat untuk Hepatitis.

 

1. Lamivudin

Indikasi : Hepatitis B kronik.

Dosis : Dewasa, anak > 12 tahun : 100 mg 1 x sehari. Anak usia 2 11 tahun : 3 mg/kg 1 x sehari (maksimum 100 mg/hari).

Efek samping : diare, nyeri perut, ruam, malaise, lelah, demam, anemia, neutropenia, trombositopenia, neuropati, jarang pankreatitis.

Interaksi   obat   :   Trimetroprim   menyebabkan   peningkatan   kadar Lamivudine dalam plasma.

Perhatian : pankreatitis, kerusakan ginjal berat, penderita sirosis berat, hamil dan laktasi.

Penatalaksanaan :

 

  • Tes untuk HBeAg dan anti HBe di akhir pengobatan selama 1 tahun dan kemudian setiap 3 -6 bulan.
  • Durasi pengobatan optimal untuk hepatitis B belum diketahui, tetapi pengobatan dapat dihentikan setelah 1 tahun jika ditemukan adanya serokonversi HBeAg.
  • Pengobatan lebih lanjut 3 6 bulan setelah ada serokonversi HBeAg untuk mengurangi kemungkinan kambuh.
  • Monitoring fungsi hati selama paling sedikit 4 bulan setelah penghentian terapi dengan Lamivudine.

2.   Interferon α

Indikasi : Hepatitis B kronik, hepatitis C kronik Dosis :

Hepatitis B kronik

a. Interferon α-2a SC/IM, 4,5 x 106 unit 3 x seminggu. Jika terjadi toleransi dan tidak menimbulkan respon setelah 1 bulan, secara bertahap naikkan dosis sampai dosis maksimum 18x106 unit, 3 x seminggu. Pertahankan dosis minimum terapi selama 4-6 bulan kecuali dalam keadaan intoleran.

b.Interferon α-2b SC, 3 x 106 unit, 3 x seminggu. Tingkatkan dosis 5-10x106 unit, 3 x seminggu setelah 1 bulan jika terjadi toleransi pada dosis lebih rendah  dan  tidak  berefek.  Pertahankan  dosis  minimum  terapi selama 4-6 bulan kecuali dalam keadaan intoleran.

Hepatitis C kronik

Gunakan  bersama  Ribavirin  (kecuali  kontraindikasi).  Kombinasi Interferon α dengan Ribavirin lebih efektif.

a. Interferon α-2a dan α-2b

SC, 3 x 106 unit 3 x seminggu selama 12 minggu. Lakukan tes Hepatitis C RNA dan jika pasien memberikan respon, lanjutkan selama 6-12 bulan.

b. Peginterferon α-2a

 

SC, 180 µg 1 x seminggu c.Peginterferon α-2b SC, 0,5 µg/kg (1 µg/kg digunakan untuk infeksi genotip 1) 1 x seminggu.

 

Penatalaksanaan :

  • Peginterferon α-2a dengan Ribavirin untuk infeksi genotip 1.
  • Peginterferon α dengan Ribavirin, Interferon α dengan Ribavirin untuk infeksi genotip 2 dan 3.
  • Peginterferon α tunggal untuk pasien dengan kontraindikasi terhadap Ribavirin.
  • Peginterferon α tunggal : tes Hepatitis C RNA selama 12 minggu, jika ada respon, lanjutkan pengobatan selama 48 minggu. Jika tidak ada respon (positif HCV RNA) hentikan pengobatan.
  • Tes Hepatitis C RNA 6 bulan setelah penghentian pengobatan untuk melihat respon.
 

3.   Ribavirin dengan Interferon

Indikasi : Hepatitis C kronik pada pasien penyakit hati >18 tahun yang mengalami kegagalan dengan monoterapi menggunakan Interferon α-2a atau α-2b.

Ribavirin dengan Peginterferon α-2a atau α-2b

Untuk Hepatitis C kronik pada pasien > 18 tahun yang mengalami relaps setelah mendapat terapi dengan Interferon α.

Kontraindikasi :

Wanita hamil dan suami dari wanita hamil, pasangan yang berencana memiliki anak kandung, mempunyai reaksi alergi terhadap Ribavirin, penyakit jantung berat 6 bulan yang lalu,  haemoglobinopathy, hepatitis autoimun, sirosis hati yang tidak terkompensasi, penyakit tiroid, adanya penyakit atau riwayat kondisi psikiatrik berat, terutama depresi, keinginan atau ada upaya bunuh diri.

Perhatian :

Wanita subur dan pria harus menggunakan kontrasepsi efektif selama terapi 6 bulan sesudahnya, tes hamil harus dilakukan tiap 6 bulan selama terapi. Lakukan tes darah lengkap secara berkala sejak awal terapi.

Riwayat   penyakit   paru   atau   diabetes   mellitus   yang   cenderung ketoasidosis, gangguan pembekuan darah atau mielosupresi berat. Tes daya visual dianjurkan sebelum terapi pada pasien diabetes mellitus atau hipertensi. Monitor fungsi jantung pada pasien dengan riwayat penyakit jantung   kongestif,   miokard  infark   dan   gangguan   aritmia.   Dapat menimbulkan kekambuhan penyakit psoriasis.

Efek Samping :

Hemolisis, anemia, neutropenia, mulut kering, hiperhidrosis, asthenia, lemah, demam, sakit kepala, gejala menyerupai flu, kekakuan, berat badan menurun, gangguan GI, artralgia, mialgia, insomnia, somnolen, batuk, dispnea, faringitis, alopesia, depresi.

Interaksi Obat : Zidovudine, Stavudine.

Dosis :

Ribavirin dengan Interferon α-2b

Interferon α-2b : 3 x 106 unit SC 3 x seminggu dan Ribavirin per hari berdasarkan berat badan :

< 75 kg, Ribavirin 400 mg pagi dan 600 mg sore hari

> 75 kg, Ribavirin 600 mg pagi dan sore hari

Ribavirin dengan Peginterferon α-2a

Peginterferon α-2a : 180 µg SC 1 x seminggu dengan Ribavirin per hari berdasarkan berat badan dan genotip HCV

Genotip 1, < 75 kg, 400 mg pagi dan 600 mg malam hari.

>75 kg, 600 mg pagi dan malam hari. Genotip 2 dan 3, 400 mg pagi dan malam hari.

Ribavirin dengan Peginterferon α-2b

Peginterferon   α-2b   :   1,5   µg/kg   SC   1   x   seminggu   dan   Ribavirin berdasarkan berat badan :

< 65 kg, SC Peginterferon α-2b 100 µg 1 x seminggu, oral Ribavirin 400 mg pagi dan malam hari.

65-80 kg, SC Peginterferon α-2b 120 µg 1 x seminggu, oral Ribavirin 400 mg pagi dan 600 mg malam hari.

>80-85 kg, SC Peginterferon α-2b 150 µg 1 x seminggu, oral Ribavirin 400 mg pagi dan 600 mg malam hari.

> 85 kg, SC Peginterferon α-2b 150 µg 1 x seminggu, oral Ribavirin 600 mg pagi dan 600 mg malam hari.

Penatalaksanaan :

  • Ribavirin tidak efektif jika digunakan tunggal.
  • Ribavirin dengan Peginterferon α untuk infeksi genotip 1.
  • Ribavirin dengan Peginterferon α atau Ribavirin dengan Interferon α untuk infeksi genotip 2 dan 3.
  • Peginterferon α tunggal jika kontraindikasi dengan Ribavirin.
  • Terapi untuk infeksi 1 dan 4 selama 48 minggu.
  • Terapi untuk infeksi 2 dan 3 selama 24 minggu.
 

b.   Obat untuk Komplikasi Sirosis Hati

 

1. Asites 

 

Tabel 2. Obat-obat untuk terapi Asites

 

Obat
Dosis per hari
Keuntungan
Efek Samping
Spironolactone
100-600 mg

Antagonis aldosteron

Slow diuresis

Hiperkalemia, ginekomastia, mengantuk, letargi, ruam, sakit kepala, ataksia, impotensi, jarang agranulositosis
Furosemide
40-160 mg
Diuresis cepat
Rasa tidak enak pada abdominal, hipotensi ortostatik, gangguan GI, penglihatan kabur, pusing dehidrasi, Hipo kalemia atau hipo natremia
Bumetamide
1-4 mg
Diuresis cepat 
Nefrotoksik, dehidrasi, hipokalemia, hiponatraemia
Amiloride
5-10 mg
Sebagai agen hemat atau diuresis lemah, digunakan jika kontrindikasi terhadap Spironolactone
Hiperkalemia, hypoatraemia, hyprochloraemia (khususnya waktu dikombinasi dengan thiazid), lemah, sakit kepala, nausea, muntah, konstipasi, impotensi, diare, anoreksia, mulut kering, nyeri perut, flatulen
Metolazone
Dosis awal 5 mg
Berfungsi dalam induksi diuresis dalam kasus resistensi
Hyponatraemia atau hipokalemia

 

2. Ensefalopati Hati

 

Tabel 3. Obat-obat untuk terapi Asites 

 

Obat
Dosis
Efek Samping
Lactulose
15-30 ml per oral 2-4 x sehari
Flatulen, rasa tidak enak pada perut, diare, ketidakseimbangan elektrolit
Metronidazole
400-800 mg per oral per hari dalam dosis terbagi
Gangguan GI, mual, anoreksia, rasa kecap logam, muntah, urtikaria, pruritus
Neomycin
2-4 g per oral per hari dalam dosis terbagi
Nausea, muntah, diare, reaksi alergi, diare, jarang ototoksisitas, nefrotoksisitas

 

3. Peritonitis Bakterial Spontan

Tabel 4. Obat-obat untuk terapi Peritonitis Bakterial Spontan

Obat
Dosis
Kontraindikasi
Efek Samping
Ampicilin

Dewasa :

Oral, 250-500 mg setiap 6 jam. Maksimum 4 g sehari.

IM/IV, 500 mg-1g setiap 4-6 jam

Anak-anak :

Oral 7,5-25 mg/kg setiap 6 jam sampai 4 g sehari

IM/IV, 10-25 mg/kg setiap 6 jam, maksimum 50 mg/kg setiap 4 jam

Hipersensitivitas terhadap penicilin
Reaksi alergi, anafilaksis, diare, mual, muntah, nyeri abdomen, superinfeksi.
Cefotaxime

Dewasa :

IV 1-2 g setiap 8-12 jam, maksimum 12 g sehari

Anak-anak :

IV 25-50 mg/kg setiap 8 jam

Hipersensitivitas terhadap penicilin, sefalosporin atau carbapenem 
Pankreatitis, anafilaksis
Cefriaxone

Dewasa :

IM/IV 1-2 g 1 x sehari (atau dalam 2 dosis terbagi), maksimum 4 g sehari.

Anak-anak :

IM/IV 50 mg/kg 1 x sehari

Hipersensitivitas terhadap penicilin, sefalosporin atau carbapenem 
Pankreatitis, anafilaksis 

 

Obat
Dosis dan Pemberian
Somatostatin
250 μg / jam Infus IV selama 48 jam atau lebih jika pasien re-bleed
Octreotide
50 μg / jam Infus IV selama 48 jam atau lebih jika pasien re-bleed
Terlipressin dengan atau tanpa glyceryl trinitrate 10 mg patch replaced setiap 24 jam
1-2 mg bolus setiap 4-8 jam selama 48 jam
Vasopressin dengan glyceryl trinitrate 10 mg patch replaced setiap 24 jam
20 unit di atas 15 menit, 0,4 unit per menit infus IV sampai pendarahan berhenti selama 12 jam

Sumber : Clinical Pharmacy Therapeutics, 2003

Tabel 5. Obat-obat untuk terapi Perdarahan Esofagus

 

c.   Obat untuk mengatasi Perlemakan Hati

Untuk perlemakan hati dapat digunakan obat-obat yang dapat menurunkan kadar glukosa dan menurunkan kadar lipid. Obat- obat tersebut diantaranya :

1. Insulin-sensitizing agent

Obat
Dosis
Pioglitazone
15-30 mg 1 x sehari, dapat ditingkatkan sampai dosis maksimum 45 1 x sehari setelah 4 minggu pengobatan tidak menimbulkan efek
Rosiglitazone
Dosis awal 4 mg 1 x sehari, dapat ditingkatkan sampai 8 mg/hari dalam 1 atau 2 dosis jika tidak menimbulkan efek setelah 6-8 minggu pengobatan
Metformin
500 mg 1- 3 x sehari, dapat ditingkatkan sampai 850 mg 2-3 x sehari berdasarkan respon

Tabel 6. Obat-obat yang termasuk Insulin-Sensitizing Agent

2. Obat yang dapat menurunkan kadar lemak

Gemfibrozil

Dosis : 600 mg 2 x sehari

Kontraindikasi : Alergi terhadap Gemfibrozil

Efeksamping : Mulut kering, sakit kepala, mialga, apenditis, impotensi, depresi, urtikaria

3. Obat yang dapat memperbaiki aliran darah

Pentoxifylline

Dosis : 400 mg 2-3 x sehari

Efeksamping : Nausea, muntah, sakit kepala, angina, palpitasi, jarang hipersensivitas, ruam, urtikaria, perdarahan, halusinasi

d.   Obat untuk abses hati

Obat
Dosis
Efek Samping
Interaksi Obat
Dibekacin

Dewasa : IM 100 mg/hari

Anak : 1-2 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis terbagi

Syok, ototoksisitas, nefrotoksisitas
Anestesi, diuretik, karbenisilin, sulbenisilin, tikarsilin, piperasilin
Netilmicin

Dewasa : 4-5 g/kg/hari terbagi dalam 8-12 jam

Anak : 6-7,5 mg/kg/hari terbagi dalam 8 jam diberikan selama 7-14 hari

Ototoksisitas, nefrotoksisitas 
Obat ototoksik, nefrotoksik 
Kanamycin

Dewasa : 15 mg/kg/hari dalam dosis terbagi, maksimum1,5 g/hari

Anak : 15 mg/kg/hari dalam dosis terbagi 

Bayi baru lahir 7,5 mg/kg/hari dalam dosis terbagi

Ototoksisitas, nefrotoksisitas, alergi
Diuretik, anestetik
Gentamicin

Dewasa : IM/IV 4-7 mg/kg 1 x sehari 

Anak : 1 bulan-10 tahun, IM/IV 7,5 mg/kg 1 x sehari atau 2,5 mg/kg setiap 8 jam

Anak > 5 tahun 1,5-2 mg/kg/hari setiap 8 jam

> 10 tahun, IM/IV 6 mg/kg 1 x sehari atau 1-2 mg/kg setiap 8 jam

Pusing, vertigo, tinitus, telinga berdengung dan kehilangan pendengaran, depresi napas, letargi, gangguan penglihatan, hipotensi, ruam, urtikaria
Obat ototoksik, nefrotoksik, neurotoksik, diuretik poten, anestetik umum
Amikacin

Dewasa : IM/IV 16-24 mg/kg 1 x sehari atau dalam 2-3 dosis terbagi

Anak > 10 tahun, IM/IV 18 mg/kg 1 x sehari atau 15 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis terbagi

Infant, anak <10 tahun, IM/IV 22.5 mg/kg 1 x sehari atau 7,5 mg/kg 3 x sehari

Ototoksisitas, nefrotoksisitas
Diuretik poten, anestetik
Metronidazole

Dewasa : 500-750 mg 3 x sehari selama 5-10 hari

Anak : 35-50 mg/kg/hari dalam dosis terbagi selama 10 hari

Mual, anoreksia, rasa kecap logam, muntah, gangguan GI, urtikaria, pruritus, angioeadema, anafilaksis
Alkohol (menimbulkan reaksi seperti disulfiram), meningkatkan efek antikoagulan dengan warfarin.
Tinidazole

Dewasa : 2 g sebagai dosis tunggal selama 3 hari atau 600 mg 2 x sehari selama 5 hari

Anak : dosis tunggal 50-60 mg/kg selama 3 hari

Gangguan neurologi, gangguan GI, anoreksia, rasa logam, reaksi hipersensitif, leukopenia, sakit kepala, lelah.
Intoleransi alkohol
Secnidazole

Dewasa : 1,5 g/hari dalam dosis tunggal atau terbagi untuk 5 hari

Anak : 2-30 mg/kg/hari dosis tunggal

Rasa kecap logam, glositis, urtikaria, erupsi, bingung, gelisah
Menimbulkan potensiasi efek warfarin
Kloroquin

Dewasa : hari ke-1 dan ke-2 -> 600 mg. hari ke 3 -> 300 mg

Anak : hari ke-1 dan hari ke-2 -> 10 mg/kg, hari ke-3 -> 5 mg/kg

Sakit kepala, gatal, ansietas, jarang aritmia
Fenilbutazon yang menyebabkan reaksi dermatitis

 

Tabel 7. Obat-obat untuk terapi abses hati

3.3 Masalah Terapi obat

 

Masalah terapi obat adalah hal-hal berikut :

1. Indikasi yang tidak tepat
    a. Membutuhkan tambahan terapi obat
    b. Tidak memerlukan terapi obat
2. Terapi obat yang tidak efektif
    a. Minum obat yang salah
    b. Minum obat dengan dosis terlalu kecil
3. Terapi obat tidak aman
4. Minum obat dengan dosis terlalu besar
5. Mengalami adverse drug reaction, alergi, idiosinkrasi, toksisitas, interaksi obat dan makanan.
6. Tidak taat minum obat

Hati bersama-sama dengan ginjal merupakan organ utama yang terlibat dalam metabolisme dan ekskresi obat. Suatu gangguan pada fungsi salah satu organ itu dapat mengganggu eliminasi sejumlah obat-obatan sehingga pemberian obat-obatan itu perlu dihentikan atau disesuaikan dosisnya. Lebih jauh, kadar obat dalam darah pada penderita penyakit hati dapat meningkat baik karena shunt portalsistemik ataupun karena penurunan kadar protein plasma pengikat obat (misalnya albumin). Pada sebagian besar kasus, obat-obatan dapat digunakan dengan aman pada penderita penyakit hati asalkan :

  1. Dosis obat diturunkan bila diketahui bahwa suatu obat mengalami ekskresi atau metabolisme yang bermakna dalam hati.
  2. Penderita diawasi lebih lanjut secara ketat terhadap tanda-tanda keracunan dan jika dapat diperoleh kadar obat dalam serum atau darah dipantau
  3. Obat-obat alternatif yang tidak mengalami ekskresi atau metabolisme yang bermakna dalam hati digunakan sebagai pengganti apabila tersedia.
  4. Obat-obatan yang berkaitan dengan timbulnya penyakit hati kronik dihindari.

Obat-obat di bawah ini hendaknya digunakan dengan hati-hati atau jika mungkin dihindari pada pasien-pasien dengan penyakit hati kronis :

  • Acetaminophen
  • Amiodarone
  • Chlorpromazine
  • Dantrolene
  • Ethanol
  • Halothane
  • Isoniazid
  • Methyldopa
  • Nitrofurantoin
  • Oxyphenisatin
  • Propylthiouracil
  • Sulfonamida

Penggunaan Lamivudine sebagai terapi Hepatitis B kronik

Pertimbangan khusus yang harus diperhatikan dalam pengobatan hepatitis B kronik adalah :

  • Pada pengobatan hepatitis B kronik pada pasien dewasa dengan kerusakan pada fungsi ginjal, dosis dapat dikurangi. Jika creatinine clearance 30-49 ml/menit dosis yang diberikan adalah 100 mg pada hari pertama kemudian 50 mg 1 x sehari selanjutnya. Jika creatinine clearance 15-29 ml/menit dosis yang diberikan 100 mg pada hari pertama selanjutnya 25 mg 1 x sehari. Jika creatinine clearance 5-14 ml/menit dosis yang diberikan 35 mg pada hari pertama kemudian 15 mg 1 x sehari. Jika creatinine clearance kurang dari 5 ml/menit dosis yang diberikan 35 mg pada hari pertama dan 10 mg selanjutnya.
  • Jika digunakan bersama Zidovudine dapat menimbulkan anemia. Monitoring dan lakukan pemeriksaan darah secara lengkap pada waktu awal pengobatan selanjutnya setiap bulan selama 3 bulan.
  • Jika digunakan bersama Pentamidine secara IV dapat meningkatkan risiko pankreatitis, khususnya pada anak-anak. Monitoring secara teliti dan hindari kombinasi Lamivudine-Pentamidine.
  • Hindari juga kombinasi pengobatan Lamivudine-Zalcitabine.

Penggunaan Interferon α sebagai terapi Hepatitis

  • Dosis Interferon α dikurangi sampai 50% jika terjadi efek samping berupa lelah yang mengganggu rutinitas harian, mual yang kadang-kadang disertai muntah, granulositopenia (<750/mm3) dan atau trombositopenia (< 50.000/mm3).
  • Segera hentikan jika efek samping lelah sampai harus berbaring di tempat tidur dan muntah lebih dari 2 kali sehari, granulositopenia (<750/mm3) dan atau trombositopenia (< 30.000/mm3).
  • Pengobatan dapat menyebabkan rasa lelah, mengantuk dan bingung. Hindari kegiatan mengendarai atau menggunakan mesin jika mengalami hal tersebut.

Penggunaan Ribavirin dengan Interferon α sebagai terapi hepatitis

  • Pada pasien dengan penyakit kardiovaskular dapat menyebabkan reaksi destabilisasi. Monitoring selama pengobatan dan kurangi dosis oral Ribavirin jika jumlah hemoglobin menurun lebih dari 20 g/l selama 4 mgg. Jika tetap kurang dari 120 g/l setelah 4 minggu maka hentikan pengobatan.
  • Pengobatan bersama Didanosine dapat meningkatkan toksisitas Didanosine. Hindari pemakaian kombinasi Ribavirin-Didanosine.
  • Jika creatinine clearance kurang dari 50 ml/menit maka hindari penggunaan kombinasi Ribavirin dengan Interferon α.

Penggunaan Spironolactone sebagai terapi asites

  • Pengobatan bersama obat yang dapat meningkatkan konsentrasi kalium (misal ACE inhibitor) dapat meningkatkan risiko hiperkalemia. Hindari kombinasinya atau dengan memonitor konsentrasi kalium.
  • Pada pasien dengan kerusakan ginjal dapat meningkatkan risiko hiperkalemia. Hindari penggunaan Spironolactone pada pasien dengan kerusakan ginjal berat.
  • Pada pasien dengan sirosis, Spironolactone dapat memperburuk gagal ginjal, hyperchloreamic metabolic acidosis dan ensefalopati hati. Risiko menjadi lebih besar jika Spironolactone digunakan bersama diuretik lainnya.

Penggunaan Antibiotik Penicillin dan Aminogikosida sebagai terapi penyakit hati

Pada penggunaan antibiotik penicillin dan aminoglikosida pada pengobatan penyakit hati harus diperhatikan kepatuhan dan keteraturan minum obat untuk menghindari bahaya resistensi.

Kembali ke sebelumnya...

 

 

 

 

 
 

Berbagi Bersama Kami

banner

Partners

Media Sosial

 

Visitor Counter

mod_vvisit_countermod_vvisit_countermod_vvisit_countermod_vvisit_countermod_vvisit_countermod_vvisit_countermod_vvisit_countermod_vvisit_counter
mod_vvisit_counterHari ini343
mod_vvisit_counterKemarin393
mod_vvisit_counterMinggu Ini1554
mod_vvisit_counterBulan Ini9323