Hepatitis B dan Permasalahannya (Prof.Lukman Hakim Zain) Print

Sumber : Orasi Ilmiah pada upacara peringatan Dies Natalis ke-54 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA (USU), Auditorium USU, 28 Agustus 2006

Ditulis oleh : Prof.dr. Lukman Hakim Zain, SpPD, K-GEH, Guru Besar Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Bidang Gastroenterohepatologi Fakultas Kedokteran USU

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi dan salam sejahtera.

Yang kami hormati:
1. Bapak Ketua Dewan Penyantun Universitas Sumatera Utara/Gubernur Provinsi Sumatera Utara
2. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara
3. Para Konsul Negara Sahabat
4. Bapak Walikota Medan
5. Ibu Rektor Universitas Negeri Medan
6. Bapak Rektor IAIN Medan
7. Koordinator Kopertis Wilayah I
8. Bapak dan Ibu Rektor Perguruan Tinggi Swasta
9. Para Guru Besar dan Anggota Senat Universitas Sumatera Utara
10. Para Dekan dan Staf Pengajar di lingkungan Universitas Sumatera Utara
11. Para Pengurus Ikatan Alumni Universitas Sumatera Utara
12. Para undangan sekalian

 

Sungguh merupakan suatu kehormatan bagi saya pada pagi yang berbahagia ini karena Bapak Rektor dan Panitia Dies Natalis ke-54 Universitas Sumatera Utara telah mempercayakan kepada saya untuk membacakan orasi ilmiah dengan judul “Hepatitis B dan Permasalahannya”.
“Sirih berlipat sirih pinang
Sirih dari pulau mutiara
Pemanis kata selamat datang
Awal bismillah pembuka bicara”
“Mangga golek mangga kuini
Baru dibeli di pasar pagi
Izinkan saya bicara tentang infeksi
Infeksi hepatitis B yang ditakuti”

1. Pendahuluan 

Izinkanlah saya memulai pidato saya ini dengan sejenak menoleh ke belakang melihat sejarah hepatitis B. Pada tahun 1965, Blumberg dan kawan- kawan di Philadelphia menemukan suatu antibodi pada pasien yang ditransfusi yang berasal dari suku Aborigin Australia, sehingga antigen tersebut dikenal dengan nama Antigen Australia. Pada tahun 1977, Blumberg mendapat hadiah nobel untuk penemuannya itu. Sekarang antigen tersebut dikenal dengan nama hepatitis B surface antigen (HBsAg). Hepatitis B merupakan penyakit infeksi pada jaringan hati yang disebabkan oleh virus yang berasal dari famili hepadnavirus. Ukuran virus ini sangat kecil berkisar 42 nanometer dan hanya bisa dilihat dengan mikroskop elektron.1
 

Hepatitis B merupakan masalah kesehatan global, diperkirakan sekitar 2 miliar penduduk dunia pernah terpapar virus hepatitis B (VHB). Angka prevalensi infeksi VHB di Asia Pasifik cukup tinggi yaitu melebihi 8% dan penularannya pada umumnya terjadi secara vertikal (pada periode perinatal) dan horizontal (pada masa anak-anak) oleh karena itu risiko menjadi kronis cukup besar. Diperkirakan lebih dari 350 juta di antaranya menjadi kronis yang tentunya berisiko tinggi meninggal dunia akibat penyakit hati kronis. Sekitar 75% pengidap hepatitis B kronis karier berada di Asia Pasifik. Pada saat ini sekitar 1 juta kematian per tahun akibat penyakit hati berhubungan dengan VHB. Sirosis hati, gagal hati, atau kanker hati dapat terjadi pada 15 – 40 % penderita dengan infeksi hepatitis B kronis. Di negara berkembang orang dewasa sangat berisiko tinggi untuk terkena hepatitis B, terlebih di negara miskin, hepatitis B dengan endemis tinggi, cukup banyak ditemukan pada anak-anak. Oleh sebab itu, karena tingginya morbiditas dan mortalitas karena hepatitis B, penyakit ini sangat mengancam di dunia.2,3,4

 

Prevalensi infeksi HBV berbeda-beda di seluruh dunia. Kategori daerah endemis  terbagi menjadi rendah, sedang, dan tinggi. Indonesia sendiri masuk dalam kelompok prevalensi sedang sampai tinggi. Dari data yang terkumpul, prevalensi infeksi VHB di Indonesia berkisar antara 2,5% (di Banjarmasin) sampai 36% (di Dili). Pada penelitian prevalensi infeksi virus B yang dilakukan oleh Zain dkk. pada 114 mahasiswa USU yang baru masuk tahun 1983 didapat prevalensi 16,6%.

 

Dari data pasien hemodialisis regular di 12 kota besar di Indonesia dari 2.458 pasien didapati prevalensi infeksi HBV sebanyak 4,5%, sedangkan di Kota Medan sendiri didapat 6,05% dari 314 pasien (survey nasional pernefri untuk prevalensi hepatitis B/C pada pasien hemodialisis). Diperkirakan saat ini 11,6 juta penduduk Indonesia terinfeksi oleh VHB. Oleh sebab itu perlu diupayakan pencegahan dengan program imunisasi pada bayi dan anak-anak karena pada usia seperti ini infeksi hepatitis B yang kronis dapat dicegah serta menghentikan progresivitas infeksi hepatitis B kronis yang sudah terjadi dengan obat-obatan yang sudah tersedia.5,6,7,8

 

Adapun topik pembahasan yang akan diungkapkan pada kesempatan kali ini adalah:

  1. Manifestasi klinik dan deteksi dini hepatitis B
  2. Transmisi dan perjalanan alamiah hepatitis B
  3. Pencegahan, vaksinasi, dan keberhasilannya
  4. Terapi hepatitis B terkini

2. Manifestasi Klinik Hepatitis B.

 

Infeksi hepatitis B yang akut akan terjadi dalam waktu 30 sampai 180 hari setelah virus memasuki tubuh. Kebanyakan tanpa gejala klinis yang khas. Pada sebagian pasien menunjukkan gejala klinis yang klasik seperti dimulai dengan gejala prodromal atau gejala pertama yang dirasakan oleh pasien adalah demam tidak terlalu tinggi, rasa tidak selera makan, mual, dan kadang-kadang muntah. Juga akan terjadi rasa lemas, sakit kepala, rasa takut dengan cahaya, sakit menelan batuk, dan pilek. Gejala-gejala ini memang sangat mirip dengan flu, sehingga disebut dengan flu like syndrome. Satu sampai dua minggu kemudian barulah timbul kuning pada seluruh badan penderita. Saat inilah biasanya penderita berobat karena merasa ada kelainan pada tubuhnya yang berwarna kuning. Kuning ini diikuti oleh perubahan gambaran laboratorium fungsi hati yang biasanya meningkat. Fungsi hati ini biasanya digambarkan oleh kenaikan SGOT dan SGPT. Satu sampai lima hari sebelum badan kuning, keluhan kencing seperti teh pekat dan warna buang air besar yang pucat seperti diliputi lemak juga dirasakan oleh penderita.9

 

Pada saat badan kuning, biasanya diikuti oleh pembesaran hati yang diikuti oleh rasa sakit bila ditekan di bagian perut kanan atas. Setelah gejala tersebut akan timbul fase resolusi. Pada fase ini, badan kuning berangsur kembali normal dan juga ukuran hati akan kembali normal. Rentang waktunya biasanya 2 – 12 minggu untuk mencapai resolusi. Pada fase ini, kenaikan fungsi hati secara laboratorium akan berangsur-angsur mencapai normal kembali. Hepatitis B akut yang tidak ada komplikasi, akan mengalami resolusi lengkap berkisar 3 sampai 4 bulan.9

 

Bila fungsi hati tidak mencapai normal dalam waktu 6 bulan atau lebih, inilah yang dikatakan dengan hepatitis B kronis. Tetapi hanya 5% saja yang menderita hepatitis B akut akan menjadi hepatitis B kronis. Selebihnya, infeksi hepatitis B kronis berasal dari waktu masa janin yang dilahirkan oleh ibu-ibu yang positif menderita hepatitis B, terutama di daerah endemis seperti Indonesia. Yang penting di sini adalah mencegah proses kronisitas menjadi komplikasi yang lebih serius. Di antaranya menjadi sirosis hati dan sekitar 10% dari seluruh sirosis hati karena virus akan berkembang menjadi kanker hati primer. Kalau sudah mencapai tahap terakhir ini (kanker hati) angka harapan hidupnya akan semakin rendah dan pengobatan sekarang hanya untuk mencegah komplikasi yang akan terjadi9, atau dilakukan transplantasi hati.

 

3. Transmisi dan  Perjalanan Alamiah Hepatitis B

 

Virus hepatitis B menular melalui kontak dengan cairan tubuh. Manusia merupakan satu-satunya host (pejamu) dari virus ini. Darah merupakan faktor penting untuk media penularan. Cairan tubuh yang lain juga faktor penting untuk penularan. Akhir-akhir ini ada tiga cara penularan virus hepatitis B. Pertama adalah transmisi perinatal, seksual, parenteral dan perkutaneus (menggunakan jarum suntik yang sama secara bergantian). Tidak ada bukti penularan dapat melalui udara bebas atau kotoran dari manusia yang terinfeksi. Virus hepatitis B tidak ditularkan melalui air, makanan, serangga dan binatang lainnya.10,11

Transmisi perinatal merupakan transmisi virus hepatitis B dari ibu ke bayi selama periode perinatal, transmisi ini paling penting dalam prevalensi di daerah endemis tinggi khususnya di Cina dan Asia Tenggara. Sebelum vaksin dipergunakan sebagai program imunisasi rutin, proporsi bayi yang terinfeksi sekitar 10 – 30 % dari ibu yang positif hepatitis B (HbsAg positif) yang tanda replikasi virusnya tidak aktif (HbeAg negatif). Sementara itu insiden perinatal lebih besar pada ibu yang HbsAg dan HbeAg positif yaitu berkisar 70 – 90 %. Untuk bayi baru lahir dan anak kurang dari 1 tahun yang terinfeksi hepatitis B pada periode perinatal, maka kemungkinan menjadi infeksi kronis sekitar 90%.12,13

 

Transmisi seksual merupakan sumber penularan utama di dunia khususnya pada daerah endemis rendah seperti Amerika. Perilaku homoseksual dalam jangka 5 tahun akan berisiko tinggi untuk terinfeksi hepatitis B sekitar 70%. Faktor-faktor pada heteroseksual yang mempengaruhi untuk meningkatnya infeksi hepatitis B adalah lamanya aktivitas seksual, jumlah pasangan seksual, riwayat penyakit menular seksual sebelumnya, dan serologi sifilis yang positif.14,15

 

Transmisi parenteral dapat berupa penggunaan jarum suntik secara bersama, transfusi darah, dialisis (cuci darah), akupungtur, pekerja kesehatan, dan tato. Risiko terinfeksi hepatitis B melalui transfusi darah sekarang sudah mulai berkurang karena sudah ada skrining untuk hepatitis B walaupun kemungkinan untuk terinfeksi masih ada.16,17

 

Pada hepatitis B kronis yang terjadi karena penularan vertikal, perjalanan kliniknya ada 3 fase: tahap pertama merupakan periode imun tolerans. Selama fase ini  terjadi replikasi virus yang aktif, tetapi tidak ada dijumpai gejala dan pemburukan fungsi hati. Fase ini dapat menetap selama 10 tahun atau lebih yang dapat menyebabkan perjalanan kronisitas seperti sirosis. Fase kedua adalah fase imunoaktif yang ditandai pemburukan fungsi hati yang bisa berkembang progresif. Fase ketiga merupakan respons imunologis host terhadap virus. Pada fase ini dapat terjadi normalisasi atau resolusi proses keradangan dari hati.18

 

Pada penderita hepatitis B akut saat perinatal dan anak, diperkirakan akan mengalami kesembuhan sempurna 10 – 70 %, sementara 30 – 90 %-nya akan mengalami infeksi kronis. Sedangkan pada usia dewasa, infeksi hepatitis B akut yang akan menjadi kronis berkisar 5%, sedangkan yang mengalami kesembuhan sempurna sekitar 95%. Pada penderita yang mengidap penyakit hepatitis B kronis, insiden dalam waktu 5 tahun akan berkembang menjadi sirosis sekitar 8 – 20 %. Tanpa terapi, sirosis hati dapat berkembang menjadi keadaan yang lebih buruk (sirosis hati yang tidak terkompensasi) sehingga menimbulkan koma dan beberapa di antara penderita sirosis hati tersebut dapat berkembang menjadi kanker hati.19

 

Beberapa faktor yang mempengaruhi perjalanan alamiah hepatitis B kronis menjadi sirosis dan atau kanker hati adalah usia pada saat infeksi dan beberapa faktor tambahan seperti faktor host, virus maupun factor eksternal. Usia saat infeksi dikatakan berpengaruh terhadap kronisitas penyakit ini. Individu yang terkena infeksi pada masa bayi akan berpeluang lebih besar terhadap terjadinya hepatitis B kronis dibanding infeksi masa dewasa. Adanya program vaksinasi yang sudah cukup luas maka kejadian penyakit hepatitis B menjadi berkurang diikuti dengan menurunnya angka kejadian kanker hati pada anak-anak. Dikatakan pula bahwa jenis kelamin berpengaruh terhadap progresivitas penyakit ini. Rasio antara pria dibanding wanita untuk mengalami sirosis hati dari hepatitis B kronis berkisar 2 : 1, dan insiden untuk berlanjut menjadi kanker hati tiga sampai enam kali lebih besar pada pria dibanding wanita. Usia yang lebih tua merupakan faktor risiko untuk mengalami kanker hati, hal ini kemungkinan disebabkan durasi infeksi virus hepatitis B yang cukup lama. Puncak insiden sirosis atau kanker hati sekitar usia 50 – 60 tahun. Status imun juga sangat berpengaruh terhadap progresivitas penyakit terutama pada pasien dengan imun yang rendah. Selain itu jumlah virus juga berperan penting dalam perjalanan alamiah hepatitis B ini. Penderita dengan replikasi virus yang aktif terutama pada fase imunotolerans memiliki risiko paling besar untuk progresivitas penyakit. Faktor luar yang juga berpengaruh terhadap progresivitas hepatitis B kronis yaitu koinfeksi dengan virus-virus hepatotropik (termasuk virus hepatitis A, C, atau D) atau HIV (human immunodeficiency virus), adanya pemakaian obat-obatan yang menyebabkan status imun menurun, ataupun konsumsi alkohol yang berlebihan.20

 

4. Pencegahan, Vaksinasi, dan Keberhasilannya.

 

Tiga strategi utama pencegahan yaitu modifikasi pola hidup untuk pencegahan transmisi, imunisasi aktif, dan imunisasi pasif. Perubahan perilaku seksual dan skrining terhadap produk darah untuk transfusi dapat mengurangi risiko terinfeksi hepatitis B.5

 

Pencegahan dengan vaksinasi merupakan strategi terpenting untuk menurunkan risiko infeksi virus hepatitis B kronis dan komplikasinya. Generasi pertama adalah plasma derived vaccine yang tidak aktif yang diperkenalkan pada tahun 1982. Generasi kedua merupakan rekombinan DNA yang dipergunakan secara luas tahun 1986. kedua vaksin tersebut cukup aman dan efektif dalam mencegah infeksi hepatitis B. Pada tahun 1991, World Health Organization (WHO) telah merekomendasikan vaksinasi hepatitis B untuk seluruh negara. Tahun 2002, 154 negara telah melakukan vaksinasi hepatitis B pada seluruh bayi baru lahir.21

 

Program vaksinasi pertama di dunia dilakukan di Taiwan pada tahun 1984. Selama 2 tahun program tersebut, vaksinasi diberikan terutama pada bayi dengan ibu pengidap hepatitis B (HbsAg positif). Kemudian vaksinasi tersebut diperluas untuk seluruh bayi baru lahir, usia pra-sekolah dan sekolah yang belum divaksinasi. Program tersebut menurunkan angka prevalensi anak usia kurang 15 tahun pengidap hepatitis B dari 9,8% pada tahun 1984 menjadi 1,3% pada tahun 1994. Pada tahun 1999 vaksinasi mencakup sekitar 80 – 86 % pada anak balita dan 90% pada anak usia sekolah sehingga prevalensi pengidap hepatitis B berkurang sampai 0,7% pada anak usia kurang 15 tahun. Taiwan merupakan daerah yang endemis infeksi hepatitis B dan dengan adanya vaksinasi yang telah diperkenalkan secara luas pada bulan Juli 1984, angka rata-rata kejadian kanker hati pada anak usia 6 – 14 tahun menurun dari 0,7 per 100.000 anak-anak periode 1981 – 1986 menjadi 0,57 pada tahun 1986 – 1990, dan lebih jauh lagi menjadi 0,36 pada tahun 1990 – 1994.22,23

 

Imunisasi pasif berupa Imunoglobulin Hepatitis B (HBIG) yang digunakan sebagai antibodi untuk melawan virus Hepatitis B. HBIG digunakan untuk 4 kondisi, yaitu (1) anak yang baru lahir dari ibu pengidap hepatitis B, (2) orang yang terpapar jarum suntik yang terinfeksi hepatitis B, (3) orang setelah melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang positif hepatitis B, (4) setelah transplantasi hati. Untuk bayi baru lahir walaupun telah diberikan imunisasi pasif, kemungkinan untuk terinfeksi berkisar 3,7 – 9,9 %. Pemberian kombinasi imunisasi aktif dan pasif memberikan cukup tinggi proteksi, yaitu lebih dari 90%.24

 

5. Terapi Hepatitis B Terkini

 

Pada hepatitis B akut tidak perlu diberikan pengobatan spesifik hanya diberikan terapi penunjang saja. Sedangkan untuk hepatitis B kronis diperlukan penanganan yang lebih spesifik. Tujuan utama pengobatan hepatitis B kronis adalah untuk mengeliminasi atau menekan secara permanen proses replikasi virus yang akan mengurangi patogenitas serta infektivitas dan pada akhirnya dapat menghentikan atau mengurangi keradangan hati sehingga progresivitas menjadi sirosis dan kanker hati dapat dicegah.19

 

Obat-obatan yang dipakai untuk hepatitis B kronis ada dua pilihan. Pilihan pertama yaitu obat yang dapat menekan replikasi virus sekaligus untuk memodulasi sistem imun penderita, yang dikenal dengan nama interferon. Yang sekarang dipakai adalah pegylated interferon yang memberikan hasil memuaskan. Keuntungan obat ini dapat menekan replikasi virus dalam jumlah yang besar, lamanya tertentu (6 bulan sampai 1 tahun), relatif aman, dan ditoleransi baik pada pasien yang sudah mengalami sirosis khususnya yang masih terkompensasi. Tetapi kerugiannya adalah harganya masih cukup mahal. Pilihan kedua adalah dari golongan analog nukleosida yang dapat menekan replikasi virus. Di antaranya adalah lamivudine, adefovir, entecavir dan masih dalam tahap uji coba adalah telbivudine dan tenofovir. Keuntungan dari golongan ini adalah biaya tidak terlalu mahal dibandingkan obat pilihan pertama tetapi kerugiannya adalah pemakaiannya relatif lebih lama (lebih dari 1 tahun), dapat terjadi resistensi virus hepatitis B terhadap obat tersebut, khususnya lamivudine mencapai angka 70% setelah pemakaian 5 tahun. Angka keberhasilan terapi hepatitis B kronis dengan menggunakan obat-obatan di atas masih di bawah 20%. Sehingga langkah pencegahan masih lebih baik daripada mengobati.18.

 

Tindakan transplantasi hati merupakan terapi definitif terhadap problem penyakit hati kronis. Sekitar 4.000 tindakan transplantasi hati dilakukan 100 sentral per tahun. Diperkirakan ada 18.000 kandidat transplantasi hati per tahun, jumlah ini diperkirakan akan meningkat di masa yang akan datang. Pada sentral di tempat dilakukan transplantasi hati, daftar tunggunya sekitar 2 – 3 tahun. Angka harapan hidup dalam 1 tahun diperkirakan sekitar 85% dan dalam 5 tahun mendekati 75%. Angka keberhasilan lebih tinggi pada pasien yang dirujuk pada tahap yang lebih awal dibandingkan dengan yang sudah terjadi dekompensasi hati. Mengingat  mahalnya biaya transplantasi, lamanya daftar tunggu, dan risiko komplikasi yang akan timbul serta meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas pasien sirosis hati apabila sudah masuk dalam stadium dekompensasi. Maka menjadi keharusan bagi kita untuk meningkatkan harapan hidup pasien dengan cara pencegahan dan pengobatan terhadap fibrosis hati. Hal ini sejalan dengan pendapat Hans Popper seorang hepatologis di Amerika pada abad 20, mengatakan ”anyone who can stop or delay liver fibrosis would be able to cure most chronic liver disease.”25,26,27

 

6. Penutup


Virus hepatitis B kronis merupakan masalah global yang menjadi perhatian seluruh dunia. Perjalanan alamiah dan akibat infeksi tersebut sangat bergantung pada faktor-faktor jumlah virus, host, dan faktor dari luar. Individu dengan hepatitis B kronis berisiko tinggi untuk menjadi sirosis dan kanker hati sehingga dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas. Bila sudah dalam tahapan penyakit hati kronis lanjut akan diupayakan sejumlah tindakan yang meminimalisasi komplikasi dalam upaya meningkatkan angka harapan hidup. Oleh karena itu intervensi yang efektif sangat dibutuhkan. Transplantasi merupakan tindakan definitive terhadap penyakit hati kronis namun tindakan ini membutuhkan biaya yang relatif mahal dan terbatasnya sentral yang mampu menyelenggarakan transplantasi tersebut. Pencegahan dengan vaksinasi merupakan strategi utama dalam mengurangi akibat dan komplikasi penyakit tersebut di masa mendatang.

Dari pidato ini, nyata bahwa pencegahan lebih baik dari pengobatan. Sehingga dengan slogan tersebut, diharapkan akan tercapai Indonesia Sehat 2010 yang merupakan tanggung jawab kita bersama untuk mewujudkannya.

Sebagai penutup kami akhiri dengan pantun berikut ini:

 

Tak ada nangka yang tak bergetah

Kalau dibelah tampak biji

Tak ada manusia yang tak bersalah

Apalagi saya sebagai penyaji

 

Kalau ada jarum yang patah

Jangan patahkan jarum yang lain

Kalau ada kata-kata saya yang salah

Jangan cerita ke orang lain

 

Dirgahayu buat USU

Semakin tua semakin maju

Kami semua mencintaimu

Semoga USU jaya selalu

 

Wabillahi taufik walhidayah, wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Rujukan

 

  1. Sherlock S, Dooley J, Hepatitis B virus and Hepatitis Delta virus. In Disease of the Liver and Biliary System. 11th ed. Blackwell Science. London. 2002. pp 285 – 302.
  2. World Health Organization. Hepatitis B. World Health Organization Fact Sheet no. 2004. available at http://who.int/mediacentre/factsheets/fs204/en [accessed  August 15,2006]
  3. Lafanchy D. Hepatitis B Virus epidemiology, disease burden, treatment, and current and emerging prevention and control measures. J Viral Hepat 2004;11:97 – 107.
  4. Lok AS. Chronic Hepatitis B. N Engl J Med 2002;346:1682-3.
  5. Hou J, Liu Z, Gu F. Epidemiology and Prevention of Hepatitis B Virus Infection. Int J Med Sci 2005:2;50 – 57.
  6. PPHI, Konsensus Penatalaksanaan Hepatitis B Kronik. 2003.
  7. Hernomo K, Perkembangan baru pengobatan hepatitis virus B. Simposium Perkembangan Mutakhir di Bidang Gastro-hepatologi. Surabaya, 23 Oktober 1999.
  8. Hernomo K, Perkembangan baru dalam penatalaksanaan hepatitis virus B dan C. Pekan ilmiah dalam Acara Peringatan 12 Tahun RS Pupuk Kaltim, Bontang, Kaltim, 10 Agustus 2002. Dalam website: http://www.pgh.or.id
  9. Dienstaq JL, Isselbacher KJ. Acute Viral Hepatitis. In: Braunwald E et al., Harrison’s Principles of Internal Medicine, 16th edition. Mc Graw Hill. New York. 2004.
  10. Scott RM, Snitbhan R, Bancroft WH, Alter HJ, Tingpalapong M. Experimental transmission of hepatitis B virus by semen and saliva. J Infect Dis. 1980 142:67 – 71.
  11. Bancroft WH, Snitbhan R, Scott RM, Tingpalapong M, Watson WT, Tanticharoenyos P. et al. Transmission of hepatitis B virus to gibbons by exposure to human saliva containing hepatitis B surface antigen. J Infect Dis. 1977 135:79 – 85.
  12. Sevens CE, Neurath RA, Beasly RP, Szmuness W. HBeAg and anti-HBe detection by radioimmunoassay. Correlation with vertical transmission of hepatitis B virus in Taiwan. J Med Virol. 1979 3:237 – 241.
  13. Xu ZY, Liu CB, Francis DP, Purcell RH, Gun ZL, Duan SC. et al. Prevention of  Perinatal acquisition of hepatitis B virus carriage using vaccine: preliminary report of a random double-blind placebo-controlled and comparative trial. Pediatrics. 1985 76:713 – 718.
  14. Alter MJ. Epidemiology and prevention of hepatitis B. Semin Liver Dis. 2003 23:39 – 46.
  15. Alter M, Mast E. The epidemiology of viral hepatitis in the United States. Gastroenterol Clin North Am. 1994 23:437 – 440.
  16. Margolis HS, Alter MJ, Hadler SC. Hepatitis B: evolving epidemiology and implications for control. Semin Liver Dis. 1991 11:84 – 92.
  17. Luo KX, Liang ZS, Yang SC, Zhou R, Meng QH, Zhu YW. et al. Etiological investigation of acute post-transfusion non-A, non-B hepatitis in China. J Med Virol. 1993 39:219 – 223.
  18. Lok ASF, McMahon BJ. Chronic Hepatitis B: Update of Recommendations in AASLD Practice Guideline. Hepatology;39;No 3;2004.
  19. EASL Consensus Statement. J Hepatol 2003;39 (S1):S3 – S5.
  20. Wright TL. Introduction to Chronic Hepatitis B Infection. Am J Gastroenterol 2006;101:S1 – S6.
  21. Stevens CE, Taylor PE, Tong MJ. Yeast-recombinant hepatitis B vaccine: Efficacy with hepatitis B immune globulin in prevention of perinatal hepatitis B virus transmission. JAMA. 1987 257:2612 – 2616.
  22. Ni YH, Chang MH, Huang LM, Chen HL, Hsu HY, Chiu TY. et al. Hepatitis B virus infection in children and adolescents in a hyperendemic area: 15 years after mass hepatitis B vaccination. Ann Intern Med. 2001 135:796 – 800.
  23. Chen HL, Chang MH, Ni YH, Hsu HY, Lee PI, Lee CY. et al. Seroepidemiology of hepatitis B virus infection in children: Ten years of mass vaccination in Taiwan. JAMA. 1996 276:906 – 908.
  24. Xu D, Yan Y, Xu J, Wang W, Men K, Zhang J, Liu B. et al. A molecular epidemiology study on risk factors and mechanism of HBV intrauterine transmission. Natl J Med China. 1999 79:24 – 27.
  25. Bronsther O, Fung JJ, Izakis A, Van Thiel D, Starzl TE. Prioritization and organ distribution for liver transplantation. JAMA 1994;271:140 – 3.
  26. Anonymous. United Network for Organ sharing. Retrieved June 2001, available from http://www.unos.org
  27. Dharmananda S. available from http://www.treatment and prevention of Liver fibrosis.htm (11 September 2004)

 

----- end